Sejarah Munculnya Pengemis
Pengemis merupakan sosok yg akrab dengan kehidupan kita
sehari-hari. Hampir di setiap hari kita temui sosok ini, baik di perempatan
jalan, warung, pertokoan, dan di tempat-tempat lainnya. Bahkan terkadang kita
sendiri dihampiri para pengemis dan dimintai uang oleh mereka.
Latar belakang pengemis sendiri bermacam-macam. Ada yang
akibat rumahnya tergusur, sehingga mereka menggunakan gerobak untuk
berpindah-pindah tempat dan mencari sumbangan atau makanan. Ada yang tinggal di
samping rel kreta karena tidak punya lahan untuk tinggal. Ada pula yang
meninggalkan kampungnya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Jakarta,
tapi tidak melengkapi dirinya dengan kemampuan yang dibutuhkan sehingga
akhirnya menjadikan pengemis sebagai profesi.
Masalah social gelandangan danpengemis merupakan masalah
yang sangatkompleks karena masalah gelandangan dan pengemis mencakup berbagai
aspek sosial,aspek budaya, aspek psikologi, aspek hukum, aspek ekonomi,
dan aspek keamanan.Banyak gelandangan dan pengemis menimbulkan banyaknya
masalah padakebersihan, keindahan, kesusilaan, keamanan, dan ketentraman bagi masyarakat.
gelandangandan pengemis tidak mempunyai tempat tinggal serta penampilan dirinya
yang tidak layak pada dasarnya itu semua perwujudan dari kemiskinan
ekonomi,sosialdanbudaya. Oleh sebabitumasalah ini harus ditanggulangi dengan
program bimbingan sikap mental,bimbingansosial, bimbingan keterampilan kerja. Sesuai
dengan peraturan pemerintah Nomor 31 tahun1980 tentang penanggulangan
gelandangan dan pengemis yang dimaksud dengangelandangan ialah orang yang hidup
dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-normakehidupan yang layak dalam
masyarakat tertentu dan hidup mengembara di tempat umum. Masalah gelandangan
dan pengemis berkaitan pula dengan ketidak mampuan anak memperoleh haknya
sebagaimana diatur oleh konvensi hak anak juga di sebabkankurangnya
aksebilitasanak,akibat berbagai keterbatasan sarana dan prasarana yang ada
baik dirumah dan lingkungan sekitarnya,untuk dapat berkembang sesuai
dengan masapertumbuhannya.Terkait dengan kondisi tersebut,permasalah anak
gelandangan danpengemis sudah merupakan permasalahan krusial yang harus
ditangani sampai keakar-akarnya.Sebab jika permasalahan ditangani di
permukaannya saja,maka permasalah tersebutakan terus muncul,bahkan dapat
menimbulkan permasalahn yang lain yang lebih kompleksseperti munculnya orang
dewasa jalanan dan kriminalitas, premanisasi, eksploitasitenaga,eksploitasi
seksual, penyimpangan prilaku dll
Ada dua kategori dari pengemis seperti :
1. Pengemis yang cacat (difabel), dan tidak berkemampuan
produktif secara ekonomi, ketidakmampuan mungkin pantas bagi mereka untuk
menjadi alasan sebagai latar belakang mereka untuk memilih jalan menjadi
pengemis dan mencari tahu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas mereka
2. Pengemis yang tidak cacat (non difabel), dan berkemampuan
produktif secara ekonomi, menjadikan
mengemis sebagai sebuah profesi atau pekerjaan tetap, mungkin alasan yang tepat
bagi mereka adalah kemalasan yang berkepanjangan.
Faktor kemiskinan (struktural, kultural, natural, dan
mental) sangat memengaruhi terjadinya perilaku seseorang yang ujungnya adalah munculnya
fenomena peminta-minta atau pengemis. Semakin banyak jumlah orang miskin
semakin potensial mereka menjadi pengemis. Dalam bahasa pembangunan terjadinya
kebergantungan ekonomi pada orang lain yang semakin tinggi. Bertambahnya
kemiskinan juga dipengaruhi ketidak pedulian pemerintah terhadap rakyatnya.
Faktor-faktor seseorang memilih untuk menjadi pengemis :
Pertama, mengemis karena yang bersangkutan tidak berdaya sama sekali dalam segi materi, karena cacat fisik, tidak berpendidikan, tidak punya rumah tetap atau gelandangan, dan orang lanjut usia miskin yang sudah tidak punya saudara sama sekali. Mengemis menjadi bentuk keterpaksaan. Tak ada pilihan lain.
Kedua, mengemis seperti sudah menjadi kegiatan ekonomi menggiurkan. Mulanya mengemis karena unsur kelangkaan aset ekonomi. Namun setelah beberapa tahun walau sudah memiliki aset produksi atau simpanan bahkan rumah dan tanah dari hasil mengemis tetapi mereka tetap saja mengemis. Jadi alasan mengemis karena tidak memiliki aset atau ketidakberdayaan ekonomi, untuk tipe pengemis ini tidak berlaku lagi. Sang pengemis sudah merasa keenakan. Tanpa rasa malu dan tanpa beban moril di depan masyarakat.
Ketiga, mengemis musiman, misalnya menjelang dan saat bulan ramadhan, hari idul fitri, dan tahun baru. Biasanya mereka kembali ke tempat asal setelah mengumpulkan uang sejumlah tertentu. Namun tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan status dari pengemis temporer menjadi pengemis permanen.
Keempat, mengemis karena miskin mental. Mereka ini tidak tergolong miskin sepenuhnya. Kondisi fisik termasuk pakaiannya relatif prima. Namun ketika mengemis, posturnya berubah 180 derajat; apakah dilihat dari kondisi luka artifisial atau baju yang kumel. Maksudnya agar membangun rasa belas kasihan orang lain. Pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Dan potensial untuk menganggap mengemis sebagai bentuk kegiatan profesinya.
Kelima, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat. Sudah semacam organisasi tanpa bentuk. Dengan dikoordinasi seseorang yang dianggap bos penolong, setiap pengemis (“anggota”) setia menyetor sebagian dari hasil mengemisnya kepada sindikat. Bisa dilakukan harian bisa bulanan. Maka mengemis dianggap sudah menjadi “profesi”. Ada semacam pewilayahan operasi dengan anggota-anggota tersendiri.
Untuk menarik simpati banyak orang, pengemis mempunyai cara-cara tersendiri. Ada yang membawa atau menggendong anak kecil entah itu anaknya atau bukan bahkan banyak yang menyewa anak-anak untuk meminta belas kasihan orang-orang, ada yang anggota tubuhnya luka-luka yang sesungguhnya maupun luka-luka yang ternyata hanya buatan semata, ada pula yg anggota tubuhnya cacat, ada juga yg ‘mengancam’ dg menyatakan lebih baik mengemis daripada menjambret, dan masih banyak perilaku-perilaku lainnya.
Dalam menentukan atau memilih lokasi mengemis, pengemis
memilih tempat yang sudah pasti strategis dekat dengan jangkauan sirkulasi
orang yang memilki cukup uang tentunya dan pasti mereka setidaknya dapat
mengenali orang orang yang darmawan agar mau menyumbangkan sedikit uangnya.
Lokasinya seperti depan tempat ATM, warung, SPBU, Komplek perumahan, depan
mall, dan lain lain. Dan tentu saja pengemis mempunyai taktik tertentu untuk
mengantipasi dari razia satpol pp ataupun trantip, mereka akan menyiapkan
lokasi alternatif sebagai cadangan yang telah disiapkan untuk berjaga-jaga.
Saat melakukan ‘misi’ nya pengemis ada yang berkelompok
maupun individu. Maksudnya berkelompok adalah mereka mempunyai semacam
organisasi. Jadi ada seseorang yang memimpin suatu organisasi tersebut.
Memimpin dalam arti yaitu memberi pengarahan serta pengalamannya selama menjadi
pengemis.
Selain itu pengemis dalam bertutur kata memiliki rasa santun
walaupun baju yang mereka pakai compang-camping, tetapi tutur katanya sopan dan
agak terlihat kurang mampu. Maksudnya adalah supaya orang yang melihatnya
menjadi iba. Setelah ada orang darmawan yang menyumbangkan uangnya pengemis
mengucapkan rasa terimakasih ada juga yang membaca doa-doa kebaikan.
Bahkan ada pengemis yang mengemis lebih kepada miskin
secara psikologis. Mereka miskin secara psikologis lantaran sebenarnya mampu,
tapi menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencaharian. Kebanyakan pengemis
menganggap kalau meminta-minta merupakan suatu perbuatan yang mulia dari pada
mencuri. Mereka terus berada dalam pemahaman itu, padahal keliru. Jelas-jelas
tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
sumber:
Comments
Post a Comment